An Honest Mistake


Semua berawal dari kegiatan perkemahan untuk para newbie alias kelas sepuluh di SMA ku. Dua hari berada di perkemahan itu membuatku muak, sangat sulit menemukan kamar mandi atau toilet. Hanya ada dua toilet kotor lagi seram, dan dua toilet bersih di masjid yang tidak pernah sepi dikunjungi para pelajar yang tidak tahan menahan kencing dan beraknya. Oh, inikah perkemahan yang mengasyikkan itu


Namun ajaibnya, pada hari ketiga saya mulai menikmatinya karena paginya ,aku dan teman-teman pergi outbond.
Teman-teman satu tenda saya terbaur dengan mudah berkat outbond itu. Tanpa sadar, setelah berkotorkotoran saat outbond, saya dan teman-teman saya yang notabene belum mandi seharian, merasa jijik dengan bau badan masing-masing. Tiada hal yang paling indah di otak kami selain mandi. Mandi di kamar mandi yang bersih dimana tidak ada seorang pun yang menginterupsi.

Lalu, ide gilaku –pada saat itu aku belum berpikir kalu ide itu gila- pun terbesit di benakku, “bagaimana, kalau kita mandi di rumahku saja?” tanyaku kepada teman-temanku. Salah satu temanku, kantia yang berkacamata dan berjilbab menanggapi, “rumahmu dekat dari sini, ya?” dengan gampang dan lugunya –luar biasa gobloknya-, aku menjawab, “dekat kok, kalau naik mobil cuma 3 menit, jalan kaki saja! aku benar-benar ingin mandi!” lima dari temanku setuju, “okelah kalau begitu.”


Ditemani matahari terik dan dengan bermodalkan sabun, handuk, baju ganti, dan semangat mandi yang membara, kami pun memulai perjalanan menuju rumahku. Setelah 3 menit berlalu, “Ndah, rumahmu masih jauh, ya?” tanya salah satu temanku yang berkerudung dan berkulit gelap, Intan. Aku pun menjawab, “Ah, sebentar lagi tan, sudah dekat kok” Dan setelah bermenit-menit kemudian, aku, selaku pemimpin perjalanan ini, menoleh ke belakang untuk melihat keadaan teman-temanku.

Mereka masih bernafas, masih berjalan, namun ekspresi mereka, kompak menunjukkan ekspresi kecapekan yang teramat sangat. Keringat mereka deras berkucuran, wajah dan tubuh mereka tampak hitam kemerahan diterpa sinar matahari biadab, dan yang paling menakutkan, aura dendam kesumat kurasakan ketika aku menatap mata mereka masing-masing. they simply, exhausted

“Ndah! Kau bilang 3 menit, kita sudah berjalan 15 menit, tapi kenapa belum sampai? Aku menyesal ikut denganmu! Seharusnya aku antri saja mandinya! Huh!” gerutu temanku Ria, yang pendek dan berambut keriting. “Sebentar lagi, Ria! tinggal satu belokan ini saja, kita akan sampai,” jawabku tenang.

Setelah 20 menit perjalanan penuh derita itu berlalu, akhirnya kami sampai juga di rumahku. Ibuku di rumah langsung menyambut kami dengan suguhan es teler segar. Teman-temanku terlihat lega, bak orang yang akhirnya kentut setelah tiga tahun menahannya.


Kemudian, satu per satu dari kami, untuk pertama kalinya dalam dua hari tanpa tersentuh sejuknya air dan lembutnya sabun, kami pun mandi.

No comments:

Post a Comment